WELCOME

Tirai (Bag.3)

Ini sudah bulan ketujuh kami hidup bersama, segala sesuatu tentang masa lalu dan masa depan sudah kami sharingkan bersama. Semua tampak jelas, tak ada lagi kecanggungan, tutup-tutupan ataupun kebohongan. kami saling mengerti satu sama lain. Bahkan terkadang untuk saling menjaga perasaan, kami selalu mengutarakan keinginan dengan cara tidak langsung, begitu pula saat menunjukkan sikap tidak setuju atau saat ingin menegur. Begitu jelas begitu nyata. Semua begitu indah untuk dijalani, tidak pernah ada perdebatan apalagi pertengkaran dalam rumah tangga kami, karena kami berusaha saling memahami dan menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Dia begitu menghormati saya sebagai imamnya dan saya begitu menghargai dia sebagai pendamping yang mendukung perjalanan hidup saya di dunia dan akhirat nanti insyaallah.

hari ini saya pulang lebih cepat dari biasa, dan saya langsung menuju meja makan yang berada di dekat dapur. Saat membuka tudung saji tidak ada sama sekali sesuatu yang biasa disebut makanan disitu. Saat menghela nafas kecewa, istriku muncul dari pintu belakang, dan saat itu kami bertatapan. Dengan segera ia menghampiri meraih dan mencium tangan saya, namun saat itu saya hanya berdiri terdiam. Bukannya saya sengaja tidak mau mencium keningnya seperti biasa, tapi entah kenapa saat itu tubuh ini terasa kaku, mungkin karena sedikit tidak enak saat menghela nafas tadi terlihat olehnya, takut kalau saja istriku melihatnya dan menganggap saya kecewa karena makanan belum siap dan meragukan tanggung jawabnya. Dan benar saja, karena saya diam saja tidak melakukan hal yang biasa saya lakukan, dia akhirnya minta maaf belum sempat masak. “maaf, kanda. Intan belum sempat masak, intan kira kanda pulang seperti biasa, eh, ternyata lebih cepat.”
Dan selanjutnya saya Cuma duduk di kursi meja makan dan dalam setengah jam kedepan lalu lalang intan dengan segala macam perabotan makan mengisi waktu yang menjemukan itu. Dan setelah itu makanan asal ibu saya, soto kudus sudah terhidang di atas meja. Dan kami pun makan bersama. Sekitar dua sendok terakhir kepalaku terasa pusing, ada banyak alasan untuk menjelaskan ini tapi Cuma 1 yang paling mungkin.

Saya: kamu masak apa, sih?
Intan: soto kanda, makanan kesukaan kanda kan?
Saya: ehm…iya…maksudku, kamu pakai vitsin ya?
Intan: astaghfirullah, maaf, intan lupa
Saya: iya, saya juga hampir lupa kalau pusing sekarang.
Intan: maaf…

Dan kenapa setiap kali dia meminta maaf pikiran ku jadi semakin buram, semakin merasa tidak suka mendengar dia mengucapkan 4 huruf yang meminta keihklasan itu, bagaimana mungkin dia sampai lupa kalau saya tidak suka makanan yang mengandung vitsin. Bukannya dari awal pernikahan saya selalu bilang kalau saya tidak bisa makan makanan tertentu seperti mengandung vitsin, terlalu asam, terlalu asin dan terlalu pedas. Saya juga ingat tadi pagi dia juga melakukan kesalahan. Saat sarapan semuanya baik-baik saja, namun saat saya mulai meng-gado (makan tanpa nasi) sayur bening yang dia buat, tiba-tiba lidahku sensitive terhadap rasa yang terkandung didalamnya.

Saya: in, belanja di pasar tadi pagi ya?
Intan: tidak kok, kemarin iya?
Saya: ada perubahan harga sembako?
Intan: mm…ga ada kok, semuanya segitu-gitu juga. Uang bulanan yang kanda kasih masih cukup kok
Saya: oooh….kirain, kalau garam juga nda lagi murah ya harganya?
Intan: ah, nda kok masih dua ribu lima rat….eh…tunggu….sayurnya keasinan ya?
Saya: (akhirnya ngerti juga dia)…ah nda terlalu..(padahal asin sekali)
Intan: ah, coba sini……mmm….iya kan, asin…kok ga bilang dari tadi sih?
Saya: (senyum)


Tapi kesalahan itu saya maklumi karena setahu saya memang kebiasaan suku dia kalau masak menggunakan yang asin-asin. Tapi kejadian siang hari sepertinya sudah kelewatan, belum lagi kejadian yang malam hari.
Kali ini masakannya yang bermasalah tumisan kangkungnya. Saat saya sudah mulai makan, piring didepannya masih kosong melompong.

Saya: hei, bisa main sulap kamu sekarang?
Intan: (mengernyitkan dahi)…apalagi ini?
Saya: itu piring memangnya bisa terisi sendiri gitu?
intan: masih kenyang saya….
Saya: terus kamu nontonin saya makan gitu?
Intan: ya kan sebagai istri saya nemanin suaminya selalu.
Saya: intan, kalau kamu tidak makan nanti kami bisa….
Intan: iya sakit, sudah tahu, tapi masih kenyang.
Saya: intan
Intan: asai
Saya: nuraini…

Dengan gerakannya mengambil nasi dari bakul kecil tampakya dia mengerti kalau setiap saya memanggil nama belakangnya berarti dia harus menurut.


Biasanya setiap makan malam saya selalu menceritakan kejadian yang terjadi di tempat kerja, entah itu ulah pak jojo di bagian loket yang selalu konyol, ardi yang kerjaannya selalu berantakan sehingga selalu dimarahi atasan, atau arsyad si pegawai administrasi yang selalu menyanyi-menyanyi tidak jelas. Begitu juga intan, dia selalu menceritakan apa yang dia alami seharian penuh, entah itu mika si bayi tetangga yang mulai pintar merangkak, gossip terbaru di komplek, atau apalah yang bisa dicerita.

Tapi malam ini begitu dingin, bukan suhunya, tapi suasananya. Dalam pikiranku tercanang rasa canggung memulai pembicaraan karena sudah memaksa dia makan, Entah apa yang ada di pikiran intan saat ini, seperti yang dia bilangn dari dulu bahwa saya tidak akan pernah tahu bagaimana pikiran seorang perempuan karena saya bukan perempuan.
Dan akhirnya keheningan malam itu pecah juga,

Saya: aduhh…ck
Intan: kenapa?
Saya: kamu bisa tidak masak tumis kangkung yang lebih pedas lagi dari ini?
Intan: oh…maaf tadi…
Saya: kenapa? Mumpung harga Lombok lagi murah atau kamu lupa kalau Lombok itu pedas?
Intan: astaghfirullah, tidak…aduh maaf
Saya: sudahlah…bereskan meja makannya saja…tiba-tiba saja perutku kenyang

Dan segera kutinggalkan piring yang masih tersisa dengan makanan itu di atas meja tanpa rasa bersalah, tentu saja tanpa rasa bersalah.

(bersambung)

0 Response to "Tirai (Bag.3)"

IKLAN

Cari Blog Ini

Powered by Blogger