WELCOME

Sepetak Tanah Kosong

Hari ini hari terakhir bagi seorang saya di kota Makassar. Terminal regional daya telah memberangkatkan sebagian armadanya ke berbagai daerah di Sulawesi selatan. Tepat pukul 9 bis ku akhirnya melaju menuju tanah kelahiranku, kota palopo. Seperti biasa, malam perjalanan kuhabiskan dengan utak-atik inbox dan dengar lagu Mp3. Sesekali ku lihat pinggir jalan yang dipenuhi pepohonan dan tiang listrik yang berjejer. Tak jarang pula kulihat tanah-tanah tak bertuan yang biasa dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan sampah. Sebenarnya begitu banyak hal yang bisa diperbuat dengan tanah itu. Mulai dari menanamnya dengan bahan pangan, membuat bangunan atau digunakan seperti kisah yang akan saya ceritakan berikut ini. Cerita ini berasal dari kisah nyata masa kecil seorang pemuda yang sangat saya kenal, berikut ceritanya.


Hampir 10 tahun yang lalu, 22 mei 2000. Seorang anak pulang dari sekolah dasarnya dengan riang gembira. Siang hari yang begitu terik tidak menyurutkan keceriaannya untuk terus mengayuh sepeda. Bahkan jarak sekolah dasar yang berjarak 2 km itu terasa begitu dekat karena dilaluinya setiap hari. Sebenarnya ada sekolah dasar yang letaknya lebih dekat dari tempat tinggalnya, namun dia dimasukkan di sekolah tempat ibundanya mengajar.

Sesampainya dirumah, langsung saja dia berlari memasuki pintu rumah bagian samping, sepatu dilepaskannya asal-asalan dan lengsung menuju kamar tidurnya untuk mengganti pakaian dan cuci tangan dan kaki. Setelah itu buru-buru ia ke meja makan, dibukanya tudung saji namun tak ada sedikitpun peralatan makan ada di situ, apalagi makanan. Dengan kecewa ia kembali ke kamar tidur untuk melanjutkan membaca bukunya. Karena kelelahan ia tertidur. Entah berapa lama ia tertidur namun saat ia terbangun, seorang sosok mirip ayahnya telah berada di pintu kamarnya. Setelah memperhatikan dengan jelas, ternyata sosok itu memanglah ayahnya. Ayahnya ternyata telah pulang dari kantor bahkan baju PNSnya masih dikenakannya.
Ayahnya berujar, “bangun langsung ikuti ayah!”

Bergegas anak ini bangun dari tempat tidurnya. Dalam kurun waktu kurang dari 5 menit ayah dan anak ini telah berada di atas motor. Sepanjang jalan yang ia lihat adalah rumput ilalang dan sawah, belum lagi empang dan tambak ikan yang tersebar dimana-mana, hanya tiang listrik yang sedikit menunjukkan kemodernan di dusun kecil itu. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 3 km dari rumah, akhirnya ayah menepikan motor dan membawanya ke bawah pohon yang rindang. Kemudian mereka berjalan kaki melalui jalan setapak yang hanya bisa dilalui oleh sepeda atau berjalan kaki. Semakin lama jalan setaka itu semakin kecil bahkan untuk dua kaki berdiri sejajar pun cukup sulit. Sebenarnya jalan setapak ini tidak jauh, tapi berkelok-kelok memutari daerah tambak itu. Beberapa menit kemudian mereka tiba kebun jagung. Awalnya anak itu mengira mereka akan penen jagung, namun sang ayah terus melangkah melewati kebun itu. Akhirnya mereka tiba di suatu tempat yang agak lapang, tanahnya cukup lembek dan basah namun tidak becek. Sebuah cangkul dan sebilah parang bekas ada di dekat tanah itu.

Sang ayah berujar, “ sekarang kamu bikin galian dengan panjang 2 meter, lebar 2 meter, dan dalam 2 meter.”

Anak itu mulai menggali tanah kosong itu. Cangkulan pertama sampai sepuluh terasa sangat berat, dan anak ini berpikir mungkin ini hanya diawalnya, untuk yang selanjutnya pasti lebih mudah, sama seperti saat dia sudah sering pergi pulang sekolah yang awalnya terasa berat namun akhirnya terasa ringan. Sayangnya harapan tak sesuai dengan kenyataan. Semakin lama cangkulannya makin terasa berat, padahal tanah itu sangat lembek dan tidak berbatu serta tak berakar. Namun ia tak mau menyerah begitu saja, diayunkan cangkul sekuat tenaga, meskipun terik matahari terus membakar tubuhnya. Lama-kelamaan badannya mulai terasa sakit, keringat membasahi sekujur tubuhnya, namun ia tetap bertahan.

Sinar matahari yang menembus daun pepohonan menyilaukan mata anak itu, perlahan ia melihat ke sekelilinggnya, aneka dedaunan kering menutupi permukaan tanah, ternyata badannya jua ikut menutupi permukaan tanah, saat ia mencoba bangun, badannya terasa sangat pegal, sendi-sendi tubuhnya terasa sangat kaku. Anak itu mencoba membersihkan tubuhnya. Dia melihat ayahnya datang dari kejauhan datang mengahampirinya.

Ayahnya lalu bertanya, “ tahu tidak kenapa ayah minta kamu menggali tanah?” anak itu hanya menggeleng. Akhirnya sang ayah mulai bercerita.

Saya cuma ingin memberi kamu pelajaran kalau kamu akan mengerjakan hal itu (menggali dan pekerjaan fisik lainnya yang berat) kalau tidak bisa menjadi orang yang berhasil. Saat kecil ayah sudah pernah berpikir menjadi siapa nantinya, menjadi sosok yang memiliki profesi yang baik dan dengan kehidupan yang mapan. namun saat remaja, ayah tersadar bahwa menjadi siapapun itu bukan masalah, profesi apapun akan membawa kita ke jalan kebaikan, asal pribadi kita baik. Untuk mendapat kehidupan yang baik, kamu harus menjadi pembelajar, orang yang terus berusaha belajar, meski harus peras keringat. Meski harus berhadapan dengan rasa bosan, meski harus berhadapan dengan rasa ngantuk, bahkan malas sekalipun harus dihadapi. Belajar itu berat, tapi apa kamu yakin dengan tidak belajar kamu tidak akan susah. Apapun akan susah, tinggal jalan susah mana yang mau pilih. Dengan belajar di masa muda kamu akan lelah mencari ilmu selanjutnya akan hidup di masa depan dan bisa memilih entah jadi apa, sedangkan dengan tidak belajar kamu akan pasti kelelahan sepanjang hidup mencari cara untuk bertahan hidup. Kenapa? karena kamu tidak punya skill atau ilmu yang bisa digunakan untuk hidup. Kamu pilih jadi orang yang harus belajar sampai S2 dengan tekanan hidup yang tinggi, atau harus bekerja keras di sawah sepanjang hari dengan tekanan hidup yang tinggi sepanjang umur. Kalau kamu tidak belajar, kamu akan hidup dengan cangkul itu, menjadi pekerja di ladang itu pekerjaan yang baik, tapi kalau punya pilihan lain apa kamu memilih seperti itu. Belajar membuat kita punya banyak pilihan hidup. Keterampilan (apapun itu) membuat kita bisa bertahan hidup. Sekarang mari kita pulang!“
Semenjak itu Anak itu sadar dan mulai berbagi visi dengan teman sekelasnya.. Visi ini berlanjut sampai SMP dia menemukan teman-teman yang ternyata memiliki visi yang sama, namanya Andar, wahyudi, Alber dan lainnya. Mereka yakin bahwa dengan ilmu mereka bisa membuat perubahan di desa kecil mereka menjadi lebih baik dari sebelumnya. Sebuah hal yang sulit karena masyarakat di desanya cenderung hanya tamatan SMP dan beberapa saja yang SMA. Bahkan banyak yang tak bersekolah. Mereka beranggapan bahwa hidup terus berjalan dan toh tanpa sekolah mereka tetap bisa bertahan hidup, meski hidupnya susah biasa-biasa saja . Pola pemikiran itu secara turun temurun sampai di generasinya. Dan mereka berkomitmen untuk merubah paradigma itu.
Para orang tua mulai menyadari pentingnya ilmu saat melihat seseorang dari desa mereka (senior si anak) berhasil menempuh studi S2 7 tahun yang lalu dan kini sudah menjadi orang yang berhasil. Ada pula yang menjadi salah satu pejabat di dinas kabupaten serta beberapa orang yang cukup berhasil pula. Kini suasana pendidikan di desa itu menjadi lebih baik, fasilitas sekolah sudah lebih lengkap, jumlah sekolah juga bertambah dengan pesat. Dan jangan lupa, semangat belajar juga meningkat. Sebisa mungkin para orang tua menyekolahkan anaknya sampai sarjana. Sejak 3 tahun yang lalu, banyak remaja dari desanya yang turut melanjutkan pendidikan ke kota, merantau ke tempat orang untuk sebuah kata bernama “ilmu”, meskipun untuk ilmu itu harus mengorbankan sepetak sawah atau ternak mereka. Kini anak itu tumbuh dan berkembang menjadi seorang remaja yang sedang berkuliah di salah satu kota besar di Indonesia. Ya, dengan pesan untuk jadi seorang pembelajar dia menjadi salah satu dari beberapa orang di desanya yang merantau berbekal keyakinan bahwa dengan ilmu itu bisa memberi kehidupan yang baik.

Saya berharap cerita nyata ini bisa menginspirasi kita terutama para pelajar (termasuk saya juga ) agar terus yakin bahwa dunia ini diciptakan untuk belajar. Selalu ada sesuatu yang bisa dipelajari dimanapun kita berada. Ketika kita jenuh untuk menjalani hidup, maka kita akan tersadar bahwa kita bisa belajar dari rasa jenuh itu, setidaknya belajar bahwa seharusnya kita memperbaiki kualitas diri kita untuk tidak jenuh lagi di masa depan. Dengan cara apa? Jawabannya adalah : BELAJAR





Oleh Asai tipe 16
Ditulis di:
1. Lecture Teater 5 H U
2. Bumi Tamalanrea Permai
3. Perumahan Dosen Unhas
4. Wesabbe Rumah Ikbal hasanuddin
5. Pematang sawah batua raya
6. Empang Desa Tolangi, Luwu Utara

Kamis, 7 februari 2010-15 februari 2010

2 Response to "Sepetak Tanah Kosong"

  1. bizwud says:

    tukeran link ye bro, udah tak pasang tuh linknya di blogku. salam kenal dan sejahtera!

    Asai says:

    OK....follow juga ya

IKLAN

Cari Blog Ini

Powered by Blogger